Penerapanku
"Oke, kalau memang kamu mau kita putus. Kita putus sekarang."
"Tuh kan. Dasar manusia kelewat dari jenius. Kita ini kan sama sekali nggak pacaran. Diajakin putus kok mau. Aneh."
"Ya abisnya kamu minta putus. Ya udah lah saya turutin. Kenapa sekarang marah-marah ?"
"Hemm."
"Hemm."
Sejenak semua terasa sunyi. Tiada satupun yang berucap. Hanya deraian air hujan yang terdengar di sela-sela keheningan aula kampus malam itu. Namun, keheningan itu terpecah ketika Ratih tak sengaja menjatuhkan pena birunya ke lantai.
"Eh, maaf." Ucap Ratih dengan nada bersalah.
"Nggak apa-apa. Jam berapa sekarang?" Timpal Echa.
"Setengah sepuluh." Jawab Dirga dengan lagak orang tak bersalah.
"Sure? Aku harus pulang. Ayah bisa marah ini." Aku berbicara sendiri seraya memasukkan seluruh barangku ke dalam ransel coklat kesayanganku.
"Mau dianter?"
Aku membisu mendengar suara itu. Dion. Lelaki jangkung dengan wajah oriental mahluk Asia dengan senyumannya yang khas (menyunggingkan sudut bibir kirinya dan memamerkan secuil gigi taringnya). Lelaki yang semula berkelahi denganku (perkelahian yang tak bermutu).
"Dianter aja ya? Udah malem ini." Dion memaksa.
"Enggak perlu. Aku bisa pulang sendiri kok. Anterin Ratih aja tuh."
"Rumah Ratih kan deket, kak. Lagipula, Ratih bisa kok pulang sama aku dan Bella. Iya kan, Rat?" Echa sewot menanggapi omonganku.
"Iya, kak. Aku nggak perlu dianter kok. Kakak aja tuh yang dianter pulang." Jawab Ratih lirih.
"Aku ambil motor dulu ya di parkiran kampus?" Sahut Dion.
Pertanyaan Dion itu hanya ku balas dengan tatapan tajam. Menegaskan bahwa aku benar-benar ingin pulang sendiri dengan kaki-kakiku.
Dan pada akhirnya, ia membiarkanku untuk pulang sendiri dengan sebuah payung hitam yang melindungiku dari tangisan langit.
***
Di malam berikutnya, kami kembali berkumpul di aula kampus. Mendiskusikan tentang pertunjukan seni yang akan kami lakukan. Terdiri dari 40 orang dengan 8 manusia pengurus di balik layar. Aku, Echa, Bella, Dion, Dirga, Ratih, Dina, dan Ivan. Masing-masing diantara kami sedang sibuk menyelesaikan program kerja untuk pertunjukkan kami. Tapi, sebagian dari kami (para remaja labil), Dina, Echa, dan Bella, terpaku pada sajian film yang terpampang di layar laptop salah satu diantara mereka.
Ndreet, ndrett, ndreeettt ..
Tiba-tiba ponsel milikku menari-nari di atas meja. Tempat di mana aku mengerjakan kesibukanku. Siapa sih? Aku berucap dalam batin. Dion. Desisku dalam hati. Mau apa sih dia mengirimi aku pesan dalam situasi yang seperti ini? Mengganggu saja. Tak ku sentuh sama sekali ponsel milikku yang bergetar itu. Aku berpaling dan memandang sinis Dion. Tepatnya dengan pandangan "Apa maksudmu mengusikku dengan pesan yang tak bermutu yang baru saja kau kirimkan kepadaku?!".
Dengan menggunakan pandangan bagaikan pengemis yang memelas. Memohon-mohon pada diriku untuk membaca pesan darinya dan kembali memohon agar aku membalas pesan itu. Seolah aku akan merasa begitu senang ketika aku membaca pesan darinya itu.
Aku tetap tak mengacuhkan pesan dari manusia otak kura-kura itu. Aku tetap terpaku pada pekerjaanku yang tak kunjung terselesaikan.
Beberapa menit kemudian. Aku kembali mendengar irama getaran dari ponselku. Dion (lagi). Aku sempat mengumpatnya di dalam hati, karena pesannya yang begitu menggangguku. Aku kembali menghujaninya dengan tatapan kematian. Dion hanya menyeringai (tersenyum dengan perasaan tak berdosa). Aku kembali tak menggubrisnya. Sampai pada akhirnya, aku menangkap sepasang mata dari seorang wanita yang sedari tadi mengawasi pergerakanku dan Dion.
Paham dengan hal itu, aku memalingkan wajahku. Membenamkan pandanganku ke dalam buku pekerjaanku. Seperti benar-benar menenggelamkan jiwa dan ragaku pada buku sialan itu.
Dari sudut mata. Aku melihat Dion sedang memutar-mutar ponsel miliknya. Apa dia benar-benar menginginkan balasan pesan ini? Aku memutar otakku. Berfikir keras (sampai berkeringat dan berdarah) untuk mencari solusi apa tentang keadaan yang menyulitkanku. Semakin lama aku berfikir. Ratih, pemilik sepasang mata yang sedari tadi mengawasiku dan Dion, semakin giat melakukan aktifitas pengintaian itu. Damn! Umpatku dalam hati. Namun, dengan helaan nafas yang panjang, aku menyentuh ponsel milikku dan menarikan jariku untuk membuka pesan dari Dion.
> sepi, sunyi, senyap
Apa-apaan ini? Mengapa dia mengirimi aku pesan seperti ini? Aku bingung. Pesan itu adalah karyaku. Tiga kata istimewa buatanku.
Kuulangi lagi membaca pesan tersebut. Sampai empat kali. Dan disaat keempat kalinya aku membaca pesan itu, aku tersenyum kecut. Seoalah ada hal yang lucu di sela gumpalan rasa jengkelku kepada Dion. Lalu aku membalas pesan itu.
<triple 'S' yang mengakjubkan. untuk apa kamu mengirimkan aku tiga kata itu?
>karena sedari tadi kau hanya membisu.
<lalu?
>bicaralah. mengertikah bahwa aku disini kesepian?
<hah?? apa perduliku dengan kesepianmu? jangan terlalu puitis Dion
>seharusnya kamu hibur aku. apa harus aku ajarin dulu? :)
<apa-apaan kamu ini? sms yang lain aja sana. saya masih sibuk..
>kok gitu sih? :( dulu aku kan udah janji buat selalu ada untuk kamu, masa kamu nggak mau sih selalu ada untuk aku? :(
<jadi kamu mau minta timbal balik???
>ya bukannya gitu :(
<haih,
>ratna maah :'(
Melihat emoticon dari pesannya yang terakhir. Aku pun melepaskan tawa renyah dari mulutku. Hal itu menyebabkan semua mata orang yang berada di dalam ruangan itu serentak tertuju padaku. Dan Dion melontarkan tatapan menangnya.
Aku pun berdehem, berusaha mengubah suasana. (sebenarnya, tanpa berdehem pun mereka akan segera melupakan perbuatanku yang konyol tadi) Namun, Ratih yang semula sangat rajin mengawasiku malah tertunduk lesu. Seakan ada 1000 ton batu koral yang menimpanya.
"Pulang aja yuk." Celetuk Dirga dengan tiba-tiba.
"Oke. Kebetulan aku udah ngerasain laper yang amat sangat." Sahut Dina dari meja paling pojok (dalam gerombolan remaja labil).
"Ke cafe seberang kampus aja yuk!" Usul Dion dengan senyuman taringnya.
"Sip banget. Ide bagus itu." Sahut Echa dan langsung disetujui oleh semua pihak. Dion pun langsung berlari ke arahku. Tapi aku menghindar dan langsung menggaet tangan Ivan.
#Ivan adalah laki-laki yang memujaku. Dan aku pun memujanya. Tapi tidak seperti spongebob dengan kerang plastik miliknya. (itu sudah pasti)
Di sela perjalanan kami ketika menuju ke kafe. Ratih berhenti seraya berkata, "Aku mau pulang," dia menelan ludah, "kak Dion bisa anterin aku pulang?" Ratih melanjutkan perkataannya dengan terbata-bata.
"Hah? Enggak bisa. Nanti kalo saya nganterin kamu, Ratna siapa yang anter pulang?"
"Dion! Kamu itu apa-apaan si? Aku bisa pulang sendiri!!" Aku membentak Dion.
"Tapi, Na?" Dion berusaha memberi alasan.
"Oh, ya udah. Ratih pulang sendiri aja." Ratih pun berlalu.
Sesampainya aku di rumah. Ponselku bergetar.
Dion....
>Ratih kenapa ya Na?
<mungkin dia cemburu sama apa yang kita lakukan
>tapi, kita kan enggak ngapa-ngapain Na.
<tapi kita deket. aku udah bilang dan tanpa aku bilang pun kamu sebenernya paham
>berarti aku yang salah Na? :(
<ya, mungkin memang dia cemburu
dan dia menjadi pemikir berat
berubah demi seseorang sepertimu
ingatlah, takdir itu tak bisa dilawan
ini sudah terjadi dan tak bisa dihindari
jangan pernah mencoba untuk menghakimi dirmu sendiri
tidak ada yang salah dalam hal ini
jika memang ada, kita semualah yang salah
> :( iya Na
>inget ya Dion
perhatian aku ke kamu bukan semata-mata untuk memikat kamu
aku hanya sekedar menjagamu dari jurang terjal
supaya kamu enggak terjatuh dan tersungkur ke sana
>iya Na
<perhatian ini juga buat tanda terimakasih aku ke kamu
karena kamu udah mau nemenin aku waktu aku putus sama Tirta
>Na?
<apa?
>mungkin seharusnya kita nggak deket lagi Na
<kenapa harus kaya gitu?
>aku cuma nggak mau ada yang tersakiti Na... :(
Kubaca berualang kali kalimat dari pesan itu. Tak terasa, aku menitikkan airmata. Tak kusadari bahwa aku telah mengkhianati perasaanku sendiri. Berperan seolah aku ini tidak menyayanginya. Menutup kenyataan. Dan aku menyesalinya.
Hampir dua puluh menit aku terpaku di tempat duduk meja belajarku. Dan kembali tersadar ketika Dion kembali mengirimiku pesan yang sama. Aku pun menghela nafas dan memulai kembali peranku. (peran yang sebenarnya)
<tetap saja sudah ada yang tersakiti
meski kau rubah bagaimana pun juga.
mungkin, memang sudah menjadi takdir untuk selalu mengalah,
demi orang lain yang pada akhirnya tak akan pernah kumiliki seutuhnya.
antisipasi itu hanya membuat luka lama mengeluarkan darah segarnya lagi,
meski luka itu tercipta bukan dari belatimu..
hanya saja, ketika kau mulai mendatangkan ribuan bintang,
tapi secara sengaja kau pun membubuhkan sejumput awan hitam,
hal itu sudah menjadi lebih dari cukup untuk memusnahkan kilauan bintang yang semulai menghiasai langit itu..
ingat, jangan pernah kau memasukkan hal ini terlalu dalam di benakmu,
karena sejatinya hanya akan menimbulkan perih.
anggap saja aku tak pernah mengirimkan pesan ini,
dan khawatirkan saja dia yang sudah menyayangimu terlebih dahulu...
>Na, aku nggak ada maksud untuk menyakiti hatimu,
sungguh..
<ya, aku mengerti
dan aku memahaminya.
>Na, aku sayang sama kamu :(
Setelah membaca pesan itu. Aku memasukkan ponselku ke dalam laci meja belajarku. Dan kupastikan sejak malam itu aku tak pernah lagi menerima pesan atau telefon dari Dion. Aku tak ingin menyakiti Ratih. Meski pada kenyataannya aku benar-benar membenci manusia bernama Ratih itu.
Pada dasarnya (dalam pemikiranku), cinta yang sesungguhnya bukanlah bagaimana kita bisa memiliki dengan utuh. Tapi bagaimana cara kita menempatkan diri di antara mereka.
Dengan menggunakan pandangan bagaikan pengemis yang memelas. Memohon-mohon pada diriku untuk membaca pesan darinya dan kembali memohon agar aku membalas pesan itu. Seolah aku akan merasa begitu senang ketika aku membaca pesan darinya itu.
Aku tetap tak mengacuhkan pesan dari manusia otak kura-kura itu. Aku tetap terpaku pada pekerjaanku yang tak kunjung terselesaikan.
Beberapa menit kemudian. Aku kembali mendengar irama getaran dari ponselku. Dion (lagi). Aku sempat mengumpatnya di dalam hati, karena pesannya yang begitu menggangguku. Aku kembali menghujaninya dengan tatapan kematian. Dion hanya menyeringai (tersenyum dengan perasaan tak berdosa). Aku kembali tak menggubrisnya. Sampai pada akhirnya, aku menangkap sepasang mata dari seorang wanita yang sedari tadi mengawasi pergerakanku dan Dion.
Paham dengan hal itu, aku memalingkan wajahku. Membenamkan pandanganku ke dalam buku pekerjaanku. Seperti benar-benar menenggelamkan jiwa dan ragaku pada buku sialan itu.
Dari sudut mata. Aku melihat Dion sedang memutar-mutar ponsel miliknya. Apa dia benar-benar menginginkan balasan pesan ini? Aku memutar otakku. Berfikir keras (sampai berkeringat dan berdarah) untuk mencari solusi apa tentang keadaan yang menyulitkanku. Semakin lama aku berfikir. Ratih, pemilik sepasang mata yang sedari tadi mengawasiku dan Dion, semakin giat melakukan aktifitas pengintaian itu. Damn! Umpatku dalam hati. Namun, dengan helaan nafas yang panjang, aku menyentuh ponsel milikku dan menarikan jariku untuk membuka pesan dari Dion.
> sepi, sunyi, senyap
Apa-apaan ini? Mengapa dia mengirimi aku pesan seperti ini? Aku bingung. Pesan itu adalah karyaku. Tiga kata istimewa buatanku.
Kuulangi lagi membaca pesan tersebut. Sampai empat kali. Dan disaat keempat kalinya aku membaca pesan itu, aku tersenyum kecut. Seoalah ada hal yang lucu di sela gumpalan rasa jengkelku kepada Dion. Lalu aku membalas pesan itu.
<triple 'S' yang mengakjubkan. untuk apa kamu mengirimkan aku tiga kata itu?
>karena sedari tadi kau hanya membisu.
<lalu?
>bicaralah. mengertikah bahwa aku disini kesepian?
<hah?? apa perduliku dengan kesepianmu? jangan terlalu puitis Dion
>seharusnya kamu hibur aku. apa harus aku ajarin dulu? :)
<apa-apaan kamu ini? sms yang lain aja sana. saya masih sibuk..
>kok gitu sih? :( dulu aku kan udah janji buat selalu ada untuk kamu, masa kamu nggak mau sih selalu ada untuk aku? :(
<jadi kamu mau minta timbal balik???
>ya bukannya gitu :(
<haih,
>ratna maah :'(
Melihat emoticon dari pesannya yang terakhir. Aku pun melepaskan tawa renyah dari mulutku. Hal itu menyebabkan semua mata orang yang berada di dalam ruangan itu serentak tertuju padaku. Dan Dion melontarkan tatapan menangnya.
Aku pun berdehem, berusaha mengubah suasana. (sebenarnya, tanpa berdehem pun mereka akan segera melupakan perbuatanku yang konyol tadi) Namun, Ratih yang semula sangat rajin mengawasiku malah tertunduk lesu. Seakan ada 1000 ton batu koral yang menimpanya.
"Pulang aja yuk." Celetuk Dirga dengan tiba-tiba.
"Oke. Kebetulan aku udah ngerasain laper yang amat sangat." Sahut Dina dari meja paling pojok (dalam gerombolan remaja labil).
"Ke cafe seberang kampus aja yuk!" Usul Dion dengan senyuman taringnya.
"Sip banget. Ide bagus itu." Sahut Echa dan langsung disetujui oleh semua pihak. Dion pun langsung berlari ke arahku. Tapi aku menghindar dan langsung menggaet tangan Ivan.
#Ivan adalah laki-laki yang memujaku. Dan aku pun memujanya. Tapi tidak seperti spongebob dengan kerang plastik miliknya. (itu sudah pasti)
Di sela perjalanan kami ketika menuju ke kafe. Ratih berhenti seraya berkata, "Aku mau pulang," dia menelan ludah, "kak Dion bisa anterin aku pulang?" Ratih melanjutkan perkataannya dengan terbata-bata.
"Hah? Enggak bisa. Nanti kalo saya nganterin kamu, Ratna siapa yang anter pulang?"
"Dion! Kamu itu apa-apaan si? Aku bisa pulang sendiri!!" Aku membentak Dion.
"Tapi, Na?" Dion berusaha memberi alasan.
"Oh, ya udah. Ratih pulang sendiri aja." Ratih pun berlalu.
***
Sesampainya aku di rumah. Ponselku bergetar.
Dion....
>Ratih kenapa ya Na?
<mungkin dia cemburu sama apa yang kita lakukan
>tapi, kita kan enggak ngapa-ngapain Na.
<tapi kita deket. aku udah bilang dan tanpa aku bilang pun kamu sebenernya paham
>berarti aku yang salah Na? :(
<ya, mungkin memang dia cemburu
dan dia menjadi pemikir berat
berubah demi seseorang sepertimu
ingatlah, takdir itu tak bisa dilawan
ini sudah terjadi dan tak bisa dihindari
jangan pernah mencoba untuk menghakimi dirmu sendiri
tidak ada yang salah dalam hal ini
jika memang ada, kita semualah yang salah
> :( iya Na
>inget ya Dion
perhatian aku ke kamu bukan semata-mata untuk memikat kamu
aku hanya sekedar menjagamu dari jurang terjal
supaya kamu enggak terjatuh dan tersungkur ke sana
>iya Na
<perhatian ini juga buat tanda terimakasih aku ke kamu
karena kamu udah mau nemenin aku waktu aku putus sama Tirta
>Na?
<apa?
>mungkin seharusnya kita nggak deket lagi Na
<kenapa harus kaya gitu?
>aku cuma nggak mau ada yang tersakiti Na... :(
Kubaca berualang kali kalimat dari pesan itu. Tak terasa, aku menitikkan airmata. Tak kusadari bahwa aku telah mengkhianati perasaanku sendiri. Berperan seolah aku ini tidak menyayanginya. Menutup kenyataan. Dan aku menyesalinya.
Hampir dua puluh menit aku terpaku di tempat duduk meja belajarku. Dan kembali tersadar ketika Dion kembali mengirimiku pesan yang sama. Aku pun menghela nafas dan memulai kembali peranku. (peran yang sebenarnya)
<tetap saja sudah ada yang tersakiti
meski kau rubah bagaimana pun juga.
mungkin, memang sudah menjadi takdir untuk selalu mengalah,
demi orang lain yang pada akhirnya tak akan pernah kumiliki seutuhnya.
antisipasi itu hanya membuat luka lama mengeluarkan darah segarnya lagi,
meski luka itu tercipta bukan dari belatimu..
hanya saja, ketika kau mulai mendatangkan ribuan bintang,
tapi secara sengaja kau pun membubuhkan sejumput awan hitam,
hal itu sudah menjadi lebih dari cukup untuk memusnahkan kilauan bintang yang semulai menghiasai langit itu..
ingat, jangan pernah kau memasukkan hal ini terlalu dalam di benakmu,
karena sejatinya hanya akan menimbulkan perih.
anggap saja aku tak pernah mengirimkan pesan ini,
dan khawatirkan saja dia yang sudah menyayangimu terlebih dahulu...
>Na, aku nggak ada maksud untuk menyakiti hatimu,
sungguh..
<ya, aku mengerti
dan aku memahaminya.
>Na, aku sayang sama kamu :(
Setelah membaca pesan itu. Aku memasukkan ponselku ke dalam laci meja belajarku. Dan kupastikan sejak malam itu aku tak pernah lagi menerima pesan atau telefon dari Dion. Aku tak ingin menyakiti Ratih. Meski pada kenyataannya aku benar-benar membenci manusia bernama Ratih itu.
Pada dasarnya (dalam pemikiranku), cinta yang sesungguhnya bukanlah bagaimana kita bisa memiliki dengan utuh. Tapi bagaimana cara kita menempatkan diri di antara mereka.
bagus nih asli
ReplyDelete